Ada masa ketika saya yakin bahwa “kesuksesan” hanya punya alamat satu: kota besar. Gedung tinggi, lampu terang, ritme cepat, dan jutaan peluang—semua itu seperti magnet yang menarik saya pergi sejauh mungkin dari desa.
Namun, setelah melewati fase hidup yang penuh kejar-kejaran, saya mulai bertanya: Benarkah kebisingan kota adalah harga yang harus dibayar untuk merasa hidup?
Jawabannya baru saya temukan setelah kembali menginjak tanah desa yang lama saya tinggal.
Dan di situlah saya sadar, bahwa kedamaian punya habitat yang berbeda.
1. Desa Punya Ritme yang Tidak Memaksa Kita Berlari
Di kota, hidup seperti lomba lari yang tidak pernah ada garis finish-nya.
Di desa, hidup seperti berjalan kaki sambil menikmati pemandangan.
Tidak ada klakson yang menembus telinga setiap pagi. Tidak ada orang yang terburu-buru mengejar sesuatu yang bahkan mereka sendiri tidak tahu.
Yang ada hanyalah suara ayam, angin yang menyentuh daun, dan tetangga yang menyapa tanpa alasan.
Ritme ini perlahan menurunkan tensi hidup—tanpa kita sadari.
2. Biaya Hidup Lebih Kecil, Tekanan Hidup Lebih Ringan
Di kota:
- sewa mahal,
- transport mahal,
- makanan mahal,
- gaya hidup pun ikut mahal.
Di desa, standar kenyamanan berbeda. Kita tidak hidup dalam tekanan untuk “tampil” atau “terlihat setara”. Tidak ada dorongan sosial untuk selalu up-to-date dengan tren.
Justru, hidup apa adanya adalah hal yang paling normal.
Dengan tekanan finansial yang lebih kecil, pikiran pun terasa lebih ringan. Ketika kebutuhan dasar tidak memberatkan, kebahagiaan menjadi lebih mudah dicapai.
3. Kedekatan Sosial yang Nyata, Bukan Sekadar Formalitas
Ironisnya, kota yang ramai justru membuat banyak orang merasa kesepian.
Sementara desa yang tenang membuat banyak orang merasa ditemani.
Di desa:
- Tetangga bukan hanya orang yang tinggal di samping rumah, tetapi bagian dari keluarga besar.
- Anak-anak bermain tanpa harus diawasi dengan cemas.
- Kebaikan kecil adalah budaya, bukan kejutan.
Rasa memiliki itulah yang sering hilang di kota.
4. Alam Memberikan Ruang untuk Bernafas
Di kota, kita butuh “healing” untuk melihat matahari terbenam.
Di desa, kita tinggal melangkah keluar sebentar.
Sawah, sungai, gunung, pepohonan—semua bukan sekadar pemandangan, tetapi terapi gratis yang sering tidak kita sadari nilainya.
Alam mengajarkan kita:
- untuk melambat,
- untuk merenung,
- dan untuk kembali menjadi manusia yang utuh.
5. Lebih Sedikit Distraksi, Lebih Banyak Kesadaran
Kota membuat kita fokus pada hal yang bergerak cepat.
Desa membuat kita fokus pada diri kita sendiri.
Di desa, pikiran lebih jernih karena tidak dihajar ratusan rangsangan visual dan suara setiap menitnya.
Kita bisa mendengar suara hati kita dengan lebih jelas—hal yang jarang terjadi di kota.
Kadang kedamaian bukan muncul karena hidup kita mudah,
tetapi karena kepala kita tidak penuh.
6. Kita Tidak Terjebak dalam Perlombaan Status
Di kota, ada tekanan tak terlihat untuk menjadi “lebih”:
- lebih sukses,
- lebih kaya,
- lebih keren,
- lebih sibuk.
Di desa, standar kebahagiaan lebih sederhana:
- keluarga sehat,
- rumah tenang,
- cukup makan,
- rukun dengan tetangga,
- bisa tidur nyenyak.
Dan sering kali, justru inilah definisi kebahagiaan yang sesungguhnya.
Kesimpulan: Kedamaian Itu Dekat, Hanya Sering Kita Lupakan
Hidup di desa bukan berarti tanpa masalah.
Tetapi desa menawarkan sesuatu yang kota tidak bisa beli dengan uang:
ketenangan batin.
Mungkin kita semua butuh kota untuk belajar bagaimana bertahan,
tetapi kita butuh desa untuk belajar bagaimana merasa cukup.
Dan pada akhirnya, kedamaian bukan soal di mana kita tinggal,
tetapi di mana hati kita bisa beristirahat tanpa ketakutan dan tekanan.