Saat kecil, kita sering melihat orang tua seperti sosok super:
mereka tahu segalanya, bisa segalanya, dan seolah tidak pernah salah.
Namun ketika tumbuh dewasa, persepsi itu mulai runtuh satu per satu.
Kita mulai melihat kenyataan yang jauh lebih manusiawi:
orang tua bukan pahlawan tanpa cela. Mereka hanyalah manusia biasa yang berusaha sebaik yang mereka mampu.
Dan anehnya, semakin kita memahami hal ini, semakin mudah kita memandang diri sendiri dengan cara yang sama.
1. Orang Tua Kita Lahir Tanpa Buku Panduan
Tidak ada orang dewasa yang benar-benar siap menjadi orang tua.
Tidak ada “sertifikat kelayakan” sebelum seseorang memiliki anak.
Tidak ada kelas wajib berbulan-bulan tentang bagaimana menghadapi:
- tekanan hidup,
- kondisi ekonomi,
- masalah mental,
- konflik rumah tangga,
- atau luka masa lalu mereka sendiri.
Mereka belajar sambil jalan.
Bersamaan dengan segala kekacauan yang mereka alami sebagai individu.
Jika hasilnya tidak sempurna, itu wajar.
Semua orang juga begitu.
2. Mereka Membesarkan Kita Berdasarkan Apa yang Mereka Tahu
Kebanyakan orang tua mendidik berdasarkan:
- apa yang mereka alami,
- apa yang mereka tahu,
- apa yang mereka anggap benar,
- dan apa yang mereka mampu lakukan.
Kalau orang tua kita keras, mungkin karena mereka dibesarkan dengan cara yang sama.
Kalau mereka sering khawatir, mungkin karena hidup membuat mereka takut gagal.
Kalau mereka kurang menunjukkan kasih sayang, mungkin karena tidak ada yang mengajarkan itu pada mereka.
Mereka mengulang pola—baik maupun buruk—yang pernah mereka terima.
Dan kadang mereka bahkan tidak sadar sedang melakukannya.
3. Mereka Juga Punya Luka yang Tak Pernah Kita Ketahui
Sebagai anak, kita sering hanya melihat sisi-sisi yang bersentuhan dengan kita:
- marahnya,
- cerewetnya,
- larangannya,
- aturan-aturannya,
- ketidaksempurnaannya.
Tapi kita jarang tahu tentang:
- rasa takut yang mereka pendam,
- trauma yang mereka bawa dari masa kecil,
- tekanan finansial yang mereka sembunyikan,
- rasa insecure yang mereka tutupi,
- kegagalan yang mereka telan diam-diam.
Sosok yang terlihat kuat di luar,
sering kali adalah seseorang yang rapuh di dalam.
Dan itu berlaku untuk semua orang—termasuk kita.
4. Kita Menyalahkan Mereka Sampai Menyadari Kita Sama Saja
Proses pendewasaan yang paling besar adalah ketika kita menyadari:
“Ternyata jadi orang dewasa juga sesulit itu.”
Tiba-tiba kita memahami:
- kenapa mereka mudah marah,
- kenapa mereka stres,
- kenapa mereka melakukan kesalahan,
- kenapa mereka tidak selalu sabar,
- kenapa hidup tidak sesederhana yang kita kira.
Kita mulai melihat ketidaksempurnaan itu sebagai bagian dari perjalanan hidup,
bukan sebagai alasan untuk membenci.
Hal lucunya adalah:
dulu kita kecewa karena mereka tidak sempurna.
Sekarang kita takut jika suatu hari anak kita akan kecewa karena kita pun tidak sempurna.
5. Orang Tua Boleh Salah—Dan Kita Juga
Kita sering terjebak dalam pola pikir:
- “Orang tua seharusnya begini…”
- “Orang tua mestinya mengerti…”
- “Orang tua harusnya sabar…”
Padahal realitanya:
tidak ada orang tua yang selalu benar.
Dan anehnya,
kita pun tidak ingin dituntut untuk selalu benar.
Kalau kita ingin dimengerti,
bukankah mereka juga ingin hal yang sama?
6. Menerima Ketidaksempurnaan Itu Membebaskan Kita
Saat kita menerima bahwa orang tua hanyalah manusia biasa, kita akan:
- berhenti menuntut hal yang tidak realistis,
- berhenti mengulang luka yang sama ke generasi berikutnya,
- memahami bahwa cinta tidak selalu tampil dalam bentuk yang sempurna,
- dan yang paling penting:
kita bisa memaafkan—mereka dan diri sendiri.
Tidak semua kesalahan bisa dilupakan,
tapi kedamaian muncul saat kita berhenti berharap mereka berubah menjadi sosok ideal versi kita.
Karena pada akhirnya,
yang kita butuhkan bukan orang tua yang sempurna,
tapi hubungan yang damai.
7. Ketidaksempurnaan Mereka Mengajarkan Kita Menjadi Manusia
Kita belajar dari mereka:
- apa yang harus kita teruskan,
- dan apa yang harus kita hentikan,
- apa yang ingin kita wariskan,
- dan apa yang ingin kita perbaiki.
Mereka tidak sempurna.
Kita juga tidak.
Tapi dari ketidaksempurnaan itulah kita tumbuh menjadi pribadi yang lebih bijak.
Dan mungkin, suatu hari nanti,
anak kita pun akan menulis hal serupa tentang kita.