a man wearing an angel costume sitting on the rooftop
  • Opini
  • Tentang Orang Baik yang Sering Diperalat—Salah Siapa?

    Ada satu realitas pahit yang mungkin pernah kita alami:
    menjadi orang baik justru membuat kita lebih sering dimanfaatkan.

    Bukan sekali dua kali kita melihat orang yang tulus, perhatian, dan ringan tangan akhirnya kelelahan karena selalu memenuhi kebutuhan orang lain sementara kebutuhannya sendiri diabaikan. Pada akhirnya muncul pertanyaan besar:

    “Kalau orang baik sering diperalat, sebenarnya salah siapa?”

    Dan di sinilah ceritanya menjadi lebih rumit dari sekadar menyalahkan orang lain.


    1. Dunia Tidak Selalu Berpihak pada Orang Tulus

    Fakta yang tidak terlalu enak didengar:
    dunia lebih cepat melihat kelemahan daripada kebaikan.

    Saat kita bersikap baik, ada orang yang:

    • mengapresiasi,
    • membalas dengan kebaikan juga,
    • dan menjadikan kita sahabat.

    Tapi ada juga orang yang melihat kebaikan sebagai pintu untuk masuk:

    • meminta lebih,
    • menuntut tanpa malu,
    • bahkan menganggap kebaikan kita sebagai kewajiban.

    Pada titik ini, masalahnya bukan kebaikannya…
    tapi bagaimana orang lain menafsirkannya.


    2. Orang Baik Sering Sulit Mengucapkan “Tidak”

    Ini kelemahan paling umum.

    Bukan karena tidak mampu menolak,
    tapi karena:

    • takut mengecewakan orang,
    • takut dianggap sombong,
    • takut hubungan rusak,
    • atau merasa bersalah kalau tidak membantu.

    Masalahnya, dunia tidak pernah kehabisan orang yang akan terus meminta.

    Dan tanpa disadari,
    kita sedang mengajari orang lain bahwa kita selalu tersedia—kapan pun, untuk apa pun.


    3. “Diperalat” Kadang Terjadi karena Kita Sendiri

    Ini bagian yang pahit, tapi jujur:

    Orang lain bisa memperalat kita karena kita membiarkannya.

    Karena:

    • kita tidak menetapkan batasan,
    • kita selalu mengiyakan,
    • kita menunjukkan bahwa kita kuat menanggung semuanya,
    • kita tidak pernah jujur soal capek dan kebutuhan diri sendiri.

    Bukan berarti kita salah karena jadi orang baik,
    tapi kita salah karena tidak menjaga diri saat berbuat baik.


    4. Kebaikan Tanpa Batas = Kehancuran Perlahan

    Pemikiran “yang penting saya jadi orang baik” memang mulia.
    Tapi jika kebaikan membuat kita:

    • habis secara mental,
    • terkuras finansial,
    • merasa tidak dihargai,
    • atau kehilangan jati diri…

    maka itu bukan lagi kebaikan,
    tapi pengorbanan yang tidak sehat.

    Kita tidak bisa menuangkan dari gelas yang kosong.


    5. Menjadi Baik Tidak Sama dengan Menjadi Bodoh

    Ada perbedaan besar antara:

    • baik,
    • polos,
    • dan tidak punya batasan.

    Orang baik masih bisa berkata:

    • “Maaf, aku tidak bisa sekarang.”
    • “Aku juga punya batas kemampuan.”
    • “Aku ingin membantu, tapi aku harus jaga diriku dulu.”

    Justru di sinilah kedewasaan berada:
    tetap baik, tapi dengan akal sehat dan perlindungan diri.


    6. Bukan Salah Kita Menjadi Baik—Tapi Tanggung Jawab Kita untuk Bijak

    Jika ada yang mempertanyakan:

    “Kenapa orang baik diperalat?”

    Jawabannya:

    • karena tidak semua orang tahu batasan,
    • karena ada orang yang hanya peduli pada keuntungannya,
    • dan karena kita terlalu lama diam saat batasan kita dilewati.

    Jadi… salah siapa?

    Sebagian salah orang yang memanfaatkan.
    Sebagian lagi salah kita yang tidak menjaga batasan.

    Kebaikan tetap hal yang indah.
    Tapi ia perlu pagar.
    Agar tidak diinjak siapa pun yang lewat.


    7. Menjadi Baik yang Sehat

    Mulai hari ini, kita bisa memilih menjadi orang baik yang:

    • tulus tanpa kehilangan diri,
    • membantu tanpa merasa dituntut,
    • peduli tanpa diabaikan,
    • dan tegas tanpa menjadi jahat.

    Karena kebaikan yang paling benar adalah kebaikan yang:
    tidak menyakiti diri sendiri.

    Kang Affan

    Manusia Biasa

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    3 mins